K. SUBAKIR Ketua MWC NU Kecamatan Jepon meninjau Tanah Hibah Di Kawasan PERUMAHAN " KIDANG KENCANA" Jepon
Senin, 10 Juni 2013
Minggu, 02 Juni 2013
Desa Djepon Jang Bersedjarah
BLORA TERKENAL dahulu sebagai daerah
basis P.K.I. Bahkan setelah P.K.I. hantjur (berhubung dengan G. 30. S.nja),
daerah Blora digunakan oleh sisa2 P.K.I. sebagai tempat untuk menjusun kembali
kekuatannya. Ingat sadja kepada pristiwa penggrebekan padepokan mBah Suro
disitihinggil Blora belum lama berselang.
Tapi djustru didaerah basis P.K.I.
inilah untuk pertama kali Tjabang Nahdlatul Ulama didirikan di Indonesia ini.
Bukan maksud kita untuk menondjolkan,
tetapi demi penghargaan kita terhadap keberanian sponsornja, maka kita
kemukakan tulisan ini.
Didirikan didesa Kidangan Djepon
Kita akan menjebrangi rel kereta api
jang memandjang ditepian djalan beraspal itu. Kemudian akan kita dapatkan
sebuah langgar ketcil, madrasah dan rumah tua. Kesemuanja terbuat dari papan.
Kesan kita ketika memasuki komplek ini adalah, bahwa kita merasakan adanja
suatu ketenangan.
Nah ditemapat jang kita kemukakan
diatas itulah mula bukanja didirikan tjabang Nahdlatul Ulama’ untuk jang
pertama kali di Indonesia. Desanja ketjil sadja, Kidangan termasuk Ketjamatan
Djepon Blora. Tapi meski desa ketjil, ia memiliki nilai2 histori jang
sedemikian besar bagi perkembangan Nahdlatul Ulama’ di Indonesia ini.
Adapun susunan pengurus Tjabang Nahdlatul Ulama jang pertama tersebut
adalah sebagai berikut: Ketua almukarrom K. Maksum, Sekretaris Sudjak
(Pensiunan komandan Polisi), Bendahara Tjipto, Pembantu Chasan Hardjo sebagai
Sjurijah; K. Muntaha, K. Muzajin, H. Zaenuri dan K. Tamzis
Peresmian jang sangat meriah
Rupanja pendirian Tjabang Nahdlatul
Ulama untuk jang pertama kali itu (tahun 1927) dapat perhatian besar dari umat
Islam. Karena ternjata ketika diadakan upatjara peresmian, ber-ribu2 ummat
Islam ber-bondong2 membandjirinja. Upatjara peresmian tersebut sampai2 seperti
rapat besar (rapat umum). Hadir dalam penjelenggaraan tersebut antara lain
Almukarom K.H. Wahab Hasbullah, K.H. Asjhary dan K.H. Abdullah Ubaid.
Ketika itu Pemerintah Belanda masih
bertjokol di Indonesia. Karena itu sedikit banjak usaha2 jang didjalankan oleh
Tjabang Nahdlatul Ulama jang pertama tersebut mendapat pula berbagai rintangan,
Alm. K. Maksum sendiri pernah ditangkap oleh Belanda.
Adapun usaha jang didjalankan ketika itu adalah mendirikan djama’ah di
desa2 jang belum ada masdjidnja. Dan djika kita pergi kedaerah Blora, maka kita
akan mendjumpai beberapa masdjid dan madrasah jang merupakan peninggalan djerih
pajah perdjuangannja, antra lain: Masdjid Brumbung, Masdjid Kidangan, Masdjid
Pule dagel, Masdjid Tempel, dan sebagainja Peninggalan berupa madrasah antra
lain: Madrasah Ibtidaljah Kidangan, Madrasah Ibtidaljah Djetis Blora dan
sebagainja.
Disamping itu dalam bidang Da’wah
Islamijah, diselenggarakan pengadjian2 keliling dari desa kedesa jang sampai
sekarang masih berdjalan. Handja sadja untuk Desa Bogordjo jang dulu dipimpin
oleh Almarhum K. Tamzis, pengadjian jang diselenggarakan tiap2 hari senin
setjara bergilir dari rumah kerumah dilarang oleh sementara oknum Pediabat
setempat.
Pada Tahun 1930 dipindah ke Blora Nahdlatul Ulama’ pertama jang
berkedudukan didesa ketjil itu 3 tahun kemudian (jaitu Th. 1930 diadakan
penjempurnaan. Disamping itu kedudukannjapun dikota Blora. Adapun susunan
Pengurusanja sebagai berikut: Ketua Umum: Alm. K. Maksum, Wakil Ketua Umum: H.
Asjhary. Sekretaris: (tak diketahui) dan Bendahara: H. Busjro dan H. Sujuti.
Nahdlatul Ulama’ jang dirintis
pertama kali oleh Alm. K. Maksum itulah jang sampai sekarang masih berdiri
sebagai Partai Nahdlatul Ulama’ Blora. (Sekarang Tjabang)
Demikian uraian singkat tentang
berdirinja Tjabang Nahdlatul Ulama’ jang pertama kali di Indonesia. Uaraian ini
kita maksudkan sebagai penghargaan atas perdjuangan para Alim Ulama’ jang
diantranja banjak jang telah wafat mendahului kita. Semoa Allah SWT.
Melimpahkan kasih sanjangja. Amin ja robbal ‘alamin. (L.S.)***
Dari berita “ LINO ) edisi awal mei
1971.
LINO (Lailatul Idjtima’ nahdlatoel
oelama)
Qowaidul Fiqhiah
1.
Al-Umur bi Maqashidiha
”Semua persoalan tergantung pada maksud/tujuannya”.
Kaidah ini memberi pengertian bahwa setiap amal
perbuatan manusia, baik yang berwujud perkataan maupun perbuatan diukur menurut
niat si pelaku. Untuk mengetahui sejauhmana niat si pelaku, haruslah dilihat
adanya qarinah/alasan yang dapat dijadikan petunjuk untuk mengetahui jenis niat
dari pelakunya.
Sebagai contoh,
seorang pemburu yang menembak binatang buruan di hutan, yang kemudian ternyata
tidak mengenai sasarannya, akan tetapi pelurunya nyasar pada seorang pencari
kayu yang ada di hutan itu. Dalam kasus seperti ini, si pemburu yang melepaskan
tembakan itu tidak dapat dikategorikan sebagai pembunuhan sengaja, karena
dengan adanya hutan (sebagai qarinah/alasan) yang menghalangi atau mengganggu
penglihatan terhadap binatang buruan tersebut, yang mengakibatkan kesalahan
sehingga peluru nyasar ke tubuh si pencari kayu. Dengan demikian si pemburu
hanya dapat dikategorikan sebagai orang yang melakukan pembunuhan tidak
sengaja.
2. Al-Yaqinu la yuzalu bi
al-syakki
”Sesuatu yang sudah yakin tidak
dapat dihilangkan hanya karena adanya sesuatu yang meragukan (syak)”.
Maksud kaidah ini ialah : Apabila
seseorang telah meyakini suatu persoalan, maka yang telah yakin ini tidak dapat
dihilangkan dengan munculnya sesuatu keraguan. Contoh: Seseorang yang telah
mengambil air wudlu’, kemudian datang keraguan apakah ia berhadats atau tidak?
Dalam hal seperti ini ia dapat menetapkan hukum apa yang telah ia yakini, yaitu
ia masih punya wadlu’ dan belum berhadats.
3. Al-Dlararu
yuzalu syar’an
”Menurut syara’ bahwa bahaya itu harus
dihilangkan”.
Kaidah ini
sangat luas cakupannya, baik dalam bidang ibadah, muamalah maupun dalam bidang
jinayah. Dalam bidang ibadah, seperti: Karena air yang akan dipakai untuk
berwudlu, tercemar dan membahayakan, maka kita boleh bertayammum. Dalam bidang
mu’amalah, contohnya: Seseorang dapat mengembalikan barang yang telah dibeli,
karena ada cacatnya, agar tidak merugikan salah satu pihak, Itulah disebut
dengan hak khiyar (hak yang diberikan kepada seseorang untuk melanjutkan
transaksinya atau membatalkannya). Dalam bidang jinayah (tindak pidana),
seperti perampok dapat dijatuhi hukum mati, agar tidak meresakan kehidupan
masyarakat.
4. Al-Masyaqqatu tajlibu al-taisir
”Kesukaran itu dapat menimbulkan
kemudahan”.
Dalam keadaan
musafir, diperbolehkan menqashar shalat, dari empat rakaat menjadi dua rakaat.
Selain diperbolehkan mengqashar shalat bagi musafir, masih banyak
kemudahan-kemudahan yang diberikan kepadanya, antara lain: Diperbolehkan
berbuka puasa, diperbolehkan makan bangkai atau makan makanan lain yang
diharamkan, dikala tidak ada makanan selain bangkai yang diharamkan itu.
5. Al-Adatu
muhkamatun
”Adat kebiasaan dapat dijadikan
dasar hukum”.
Para fuqaha memberikan definisi adat kebiasaan
sebagai berikut: ”Adat ialah segala yang telah dikenal manusia, sehingga hal
itu menjadi suatu kebiasaan yang berlaku dalam kehidupan mereka baik berupa
perkataan atau perbuatan”. Contoh: Jika seorang wali kemanten wanita lupa
menyebutkan mahar pada waktu akad nikah, maka mahar dapat ditentukan dengan
mahar mitsil/mahar yang biasa berlaku di daerah itu.
Sedangkan adat yang berlawanan
dengan nash atau jiwa syari’ah, maka tidak boleh dijadikan sumber penetapan
hukum, seperti melek-an (bhs. Jawa) sambil main judi. Melek-annya boleh, tetapi
main judinya yang tidak boleh.
Hukum Perempuan Mengenakan Celana Ketat
Busana menunjukkan budaya. Salah
satu cara mengenal orang adalah dari busana yang dikenakannya. Kita bisa tahu
dari mana seseorang berasal ketika kita melihat gaya busananya. Ada adat Jawa, adat Batak dan lain sebagainya.
Busana juga menunjukkan jati diri seseorang. Karena busana merupakan tanda.
Tanda selalu menunjukkan sesuatu yang ditandainya. Lampu Merah merupakan tanda
untuk berhenti, hijau tandanya berjalan. Begitu juga dengan busana kerudung
seharusnya menunjukkan kesalehan, begitu juga dengan peci.
Akan tetapi bersama berjalannya
waktu dan derasnya arus teknologi informasi, seolah-olah penandaan tersebut
sudah tidak berlaku lagi. Ini dikarenakan kejamnya penjajahan industri busana
dan mode terhadap busana tradisional. Maka muncullah berbagai macam model
busana yang bertentangan dengan kaedah Islam. Misalnya celana ketat, atau juga
rok pendek. Lantas bagaimanakah hukumnya bagi muslimah yang tidak bisa
menghindari model busana seperti tersebut, entah karena tuntutan profesi (dalam
bekerja) atau memang sebagai pilihan tersendiri?
Sebenarnya Islam telah
menegaskan bahwa batasan aurat dalam sholat maupun di luar sholat adalah sama.
Jika aurat laki-laki adalah pusar hingga dengkul, sedangkan aurat untuk
perempuan semua anggota badan selain mata dan telapak tangan. Lalu bagaimanakah
jika perempuan memakai celana ketat, bukankah itu telah menutup aurat?
Mengenai hal ini fiqih mempunyai
dua pendapat; pertama tidak diperbolehkan bagi wanita memakai celana
ketat sehingga menimbulkan syahwat bagi yang melihatnya apalagi sampai
kelihatan warna kulitnya. Seperti yang terdapat dalam Mauhibah Dzil Fadlal juz
II hal.326-327, dan dalam Minhajul Qawim juz I hal 234
وشرط الساتر فى الصلاة وخارجها ان يشمل المستور لبسا
ونحوه مع ستر اللون فيكفى مايمنع ادراك لون البشرة
Hukum kedua adalah makruh
seperti ditunjukkan dalam I’anatut Thalibin juz I, hal 134:
ويكفى مايحكى لحجم الاعضاء (اي
ويكفي جرم يدرك الناس منه قدرالاعضاء كسراويل ضيقة) لكنه خلاف الأولى (اي للرجل
واماالمرأة والخنثى فيكره لهما) (حاشية اعانة الطالبين ج 1 ص 134)
Langganan:
Postingan (Atom)