PELANTIKAN PENGURUS NAHDLOTUL ULAMA " MWC " JEPON, MASA KHIDMAT 2012 - 2017 PADA : 27 MEI 2013. DI KIDANGAN JEPON , BLORA , JAWA TENGAH , INDONESIA No Telepon Pengurus 085 292 156 100 ...............................Blog Masih Dalam Proses Pengeditan jika ada Judul Posting yg masih kosong mohon dimaklumi,,,,salam kenal dan selamat bergabung dengan BLOG kami.....
Tampilkan postingan dengan label BAHSU MASAIL. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label BAHSU MASAIL. Tampilkan semua postingan

Minggu, 02 Juni 2013

Hukum Perempuan Mengenakan Celana Ketat


Busana menunjukkan budaya. Salah satu cara mengenal orang adalah dari busana yang dikenakannya. Kita bisa tahu dari mana seseorang berasal ketika kita melihat gaya busananya. Ada adat Jawa, adat Batak dan lain sebagainya. Busana juga menunjukkan jati diri seseorang. Karena busana merupakan tanda. Tanda selalu menunjukkan sesuatu yang ditandainya. Lampu Merah merupakan tanda untuk berhenti, hijau tandanya berjalan. Begitu juga dengan busana kerudung seharusnya menunjukkan kesalehan, begitu juga dengan peci.
Akan tetapi bersama berjalannya waktu dan derasnya arus teknologi informasi, seolah-olah penandaan tersebut sudah tidak berlaku lagi. Ini dikarenakan kejamnya penjajahan industri busana dan mode terhadap busana tradisional. Maka muncullah berbagai macam model busana yang bertentangan dengan kaedah Islam. Misalnya celana ketat, atau juga rok pendek. Lantas bagaimanakah hukumnya bagi muslimah yang tidak bisa menghindari model busana seperti tersebut, entah karena tuntutan profesi (dalam bekerja) atau memang sebagai pilihan tersendiri?
Sebenarnya Islam telah menegaskan bahwa batasan aurat dalam sholat maupun di luar sholat adalah sama. Jika aurat laki-laki adalah pusar hingga dengkul, sedangkan aurat untuk perempuan semua anggota badan selain mata dan telapak tangan. Lalu bagaimanakah jika perempuan memakai celana ketat, bukankah itu telah menutup aurat?
Mengenai hal ini fiqih mempunyai dua pendapat; pertama tidak diperbolehkan bagi wanita memakai celana ketat sehingga menimbulkan syahwat bagi yang melihatnya apalagi sampai kelihatan warna kulitnya. Seperti yang terdapat dalam Mauhibah Dzil Fadlal juz II hal.326-327, dan dalam Minhajul Qawim juz I hal 234
وشرط الساتر فى الصلاة وخارجها ان يشمل المستور لبسا ونحوه مع ستر اللون فيكفى مايمنع ادراك لون البشرة
Hukum kedua adalah makruh seperti ditunjukkan dalam I’anatut Thalibin juz I, hal 134:
ويكفى مايحكى لحجم الاعضاء (اي ويكفي جرم يدرك الناس منه قدرالاعضاء كسراويل ضيقة) لكنه خلاف الأولى (اي للرجل واماالمرأة والخنثى فيكره لهما) (حاشية اعانة الطالبين ج 1 ص 134)


Jumat, 31 Mei 2013

Hutang Kepada Orang yang Sudah Meninggal


Kematian adalah suatu keniscayaan bagi semua orang. Suatu saat kita pasti mengalaminya. Kematian bukanlah akhir dari suatu perjalanan kehidupan manusia, justru dengan kematian kehidupan lain di akhirat baru dimulai.Karena itu langkah terbaik adalah bagaimana semaksimal mungkin menjalankan ibadah dan amal saleh sesuai dengan kemampuan yang kita miliki. Kita beramal seakan-akan besok akan meninggal, dan mengerjakan kehidupan duniawi seakan-akan hidup selamanya. Dengan beitu niscaya akan tercapai keseimbangan antara kehidupan dunia dan akhirat.
Harta bukanlah tujuan, tapi sarana mempertahankan hidup dan beribadah. Namun, banyak diantara kita yang berusaha mengantisipasi keadaan sepuluh tahun, lima puluh tahun bahkan seratus tahun yang akan datang, tanpa jarang yang mengantisipasi kehidupan akhirat.
Sehubungan dengan harta, hutang-piutang merupakan salah satu hal penting yang dibahas dalam fiqih. Karena dalam sebuah hadits diterangkan bahwa Rasulullah Saw. tidak mau meshalati jenazah yang masih menanggung utang. Karena orang yang meningal masih dalam keadaan menanggung utang, di akhirat kelak akan dituntut dan dimintai pertanggung jawaban.
Oleh karena itu setiap muslim harus berusaha sekuat tenaga melunasi hutang-hutangnya. Kalau memang tidak mampu, hendaknya meminta kerelaan dain (pihak yang menghutangi) untuk membebaskannya. Dalam istilah fiqih hal ini disebut dengan istilah ibra’.
Kewajiban membayar hutang tidak gugur meski dain telah meninggal. Sebab dengan kematian akan terjadi proses pewarisan atau peralihan kepemilikan dari si jenazah kepada ahli warisnya. Termasuk harta yang diwariskan adalah hutang-hutang yang diberiakn kepada si jenazah kepada orang lain semasa hidupnya.
Dengan demikian, madin (pihak yang berhutang) diwajibkan  membayar hutangnya kepada ahli waris almarhum atau almarhumah. Adalah beban madin untuk berusaha mencari mereka guna membayar hutang.
Pertanyaannya , bagaimana jika ahli waris tidak diketahui tempatnya? Seandainya semua ahli waris tidak ditemukan, dan madin pun tampak putus asa, tidak ada harapan sama sekali, kondisi ini tidak secara otomatis menggugurkan kewajiban. Dia masih terbebani melunasinya. Bagaimana caranya? Hal itu diatur dalam kitab Bughyatul Mustarsyidin, yakni dengan menyerahkan hutang itu untuk kepentingan umat Islam.
Jika didaerahnya kebetulan ada usaha pembangunan masjid atau madrasah, hutang tersebut bisa disumbangkan. Meski jumlahnya mungkin tak seberapa dibandingkan dengan biaya yang dibutuhkan untuk pembangunan itu. Karena yang penting, si madin menemukan saluran untuk melunasi utangnya.
Dalam hukum hutang-piutang, bila utang beras 10 kilogram, maka membayarnya juga dengan jumlah dan kualitas yang sama pula. Hutang seratus ribu rupiah membayarnya juga seratus  ribu rupiah. Itu adalah kewajiban dan ketentuan minimal. Dalam suatu hadis Rasulullah Saw. bersabda:
Artinya: “sesungguhnya yang terbaik diantara kalian adalah yang paling baik dalam membayar hutang” (Muttafaq Alaihi)
Membayar hutang dengan baik, artinya membayar degan jumlah lebih besar atau dengan kualitas lebih baik, disamping tidak mengulur-ulur waktu kalau pada kenyataanya telah sanggup melunasi. Hanya saja, harus diingat, tambahan yang dibayarkan haruslah dilakukan dengan sukarela dan tidak di syaratkan pada saat akad peminjaman dilakukan. Hal itu betul-betul berdasarkan ketentuan dari si madin. Sebab kalau diwajibkan atau di syaratkan pada saat akad, maka hukumnya malah menjadi haram. Sebab,  hal itu termasuk praktek riba, yang nyata-nyata diharamkan Islam, karena berlawanan dengan semangat saling membantu dan persaudaraan, at-ta’awun wa al-ukhuwah.

Sumber: KH.MA. Sahal Mahfudh. Dialaog Problematika Umat. Surabaya: Khalista & LTN PBNU

Wanita Haid Boleh ke Majlis Taklim


Apa susahnya bikin perkumpulan? Ibu-ibu di negeri ini biasa berkumpul untuk arisan, PKK, gerakan lingkungan hidup, kesejahteraan keluarga dan lain-lain. Patut dinilai positif gerakan kaum ibu ini. Mereka cukup punya militansi luar biasa terhadap perkumpulannya.Perkumpulan kaum ibu sangat efektif untuk sosialisasi program-program yang menyangkut kemaslahatan umum. Bagaimana tidak? Kaum ibu adalah jantung dari komunitas terkecil kehidupan sosial. Mereka mudah masuk ke pihak bapak dan anak mengingat posisinya yang sangat strategis di tengah keluarga.
Majelis taklim, bukan perkecualian untuk dibentuk oleh kaum ibu. Hampir setiap kampung di negeri ini, majelis taklim kaum ibu berdiri. Layaknya transportasi kota, majelis taklim adalah patas AC. Penumpang di dalamnya menemukan kesejukan. Perkumpulan kaum ibu yang satu ini memiliki keistimewaan dan hukum tersendiri meskipun sama penting dengan perkumpulan kaum ibu di bidang yang lain.
Sebelum wejangan berhamburan dari mulut para ustazah, lantunan shalawat dan rupa-rupa zikir membahana aula majelis. Pengeras suara semacam perangkat yang mendekati wajib untuk digunakan. Ini satu keistimewaan tersendiri. Mereka yang berada dalam masa suci, tak lupa mengambil air sembahyang terlebih dahulu meski bukan untuk melakukan sembahyang. Ibu dari beragam latar belakang sosial dan pendidikan, tak peduli suaminya memeluk profesi apapun, masuk lebur dalam perkumpulan ini.
Perkumpulan kaum ibu dalam wadah majelis taklim ini, tak pernah tersandung hukum sehingga kehadirannya tak membutuhkan izin birokrasi pemerintah yang berbelit. Mereka jauh dari agenda politik bawah tanah. Apalagi niat kudeta, sungguh sama sekali tak terbesit. Singkat cerita, perkumpulan ini murni gerakan kultural-keagamaan.
Tetapi adakah perkumpulan ini dimaksudkan untuk ibu yang suci saja, tidak bagi ibu yang tengah haid atau nifas?
Dilihat dari sudut fiqh, ternyata tak ada masalah. Ibu yang sedang haid atau nifas, boleh langsung sambar sandalnya untuk menuju majelis taklim tanpa perlu mengambil air sembahyang. Keduanya boleh ikut berzikir apa saja tanpa menyentuh tulisannya. Untuk bacaan yang terkait ayat Al-quran, keduanya boleh membacanya dengan niat zikir, bukan niat membaca Alquran.
Sebagaimana diterangkan oleh Syekh Nawawi al-Bantani dalam kitabnya Kasyifatus Saja
ولا يحرم على الحائض والنفساء حضور المحتضر على المعتمد
Tiada keharaman bagi wanita yang tengah haid atau yang tengah menanti habisnya masa nifas untuk menghadiri tempat hadir (majelis taklim– penulis),
Boleh dibilang bahwa haid dan nifas bukan alasan untuk libur beraktifitas, termasuk kegiatan perkumpulan majelis taklim. Karena, kaum ibu sangat baik terlibat dalam kegiatan yang menyangkut maslahat umum, terlebih lagi perkumpulan majelis taklim. Perkumpulan ini punya catatan tersendiri di sisi Allah Swt.

Mendahulukan Mahar


Mahar atau maskawin bagi sepasang pengantin adalah sesuatu yang berharga. Bahkan dalam masyarakat tertentu, maskawin menandakan tingkat ekonomi dan strata social pengantin lelaki. Makin besar jumlah maskawin yang diberikan seorang lelaki, membuktikan makin tinggi drajat social lelaki tersebut. disamping itu, maskwain juga menyimbolkan keberhargaan seorang perempuan. Semakin tinggi maskawin yang disyaratkan seorang perempuan menunjukkan kwalitas perempuan tersebut.Bagi sebagian masyarakat maskawin lebih bermakna dari sekedar hitung-hitungan ekonomis. Seringkali maskwain menjadi lambang bagi kehidupan baru yang hendak ditempuh oleh sepasang pengantin. Misalnya maskawin berupa seperangkat alat shalat yang dapat dimaknai sebagai pengharapan untuk kehidupan mendatang yang lebih agamis.
Malahan sebagian pengantin yang kreatif, menjadikan maskawin sebagai monumen pengikat sejarah. Hal ini dapat dilakukan dengan memberikan sesuatu yang nilainya menunjukkan pada tanggal bulan dan tahun pernikahan. Misalnya memberi maskawin sejumlah Rp. 3.042.012,- guna mengabadikan tanggal 30 april tahun 2012.
Pada dasarnya Islam sendiri tidak pernah menentukan bentuk dan besaran maskawin. Karena Islam memandang maskawin sebagai sebuah representasi penghargaan terhadap kemuliaan seorang perempuan. Begitu tingginya posisi seorang perempuan hingga Islam mewajibkan maskawin bagi lelaki yang hendak menikahianya. Sebagaimana tersebut dalam surat an-Nisa’ ayat 44

وَآَتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَرِيئًا
“Berikanlah mahar (maskawin) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian yang wajib. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari mahar itu dengan senang hati, Maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya” (Qs. An-Nisa’ : 4).
Bahkan dalam sebuah hadits Rasulullah saw pernah menasehati seorang sahabat untuk memberikan maskawin walau sepotong cincin yang terbuat dari besi التمس ولو خاتما من حديد “Carilah olehmu (mahar) meskipun hanya sebuah cincin dari besi”. (HR. Bukhari).
Akan tetapi kenyataan sekarang sungguh berbeda. Longgarnya batas komunikasi menjadikan sepasang calon pengantin dapat berjumpa dan bersosialisasi sesering mungkin. Hingga tak jarang seorang laki-laki yang kedudukannya masih sebatas ‘pacar’ telah memberikan kepada pasangannya beberapa barang mewah. Tidak hanya sekedar baju dan tas, tetapi juga HP dan motor misalnya. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, jika hubungan mereka berdua berlanjut hingga pernikahan, Dapatkah barang-barang pemberian lelaki itu dikatagorikan sebagai maskawin atau mahar? Dan bagaimana hukum nikah dengan maskawin yang telah diberikan terlebih dahulu?
Abdurrahman Ba’alawi dalam Bughyatul Mustarsyidin menerangkan bahwa hal tersebut dapat dibenarkan. Baik akad nikah maupun maharnya dianggap sah seperti yang ditulisnya;
(مَسْأَلَةُ ش) دَفَعَ لِمَخْطُوْبَتِهِ مَالاً ثُمَّ ادَّعَى أَنَّهُ بِقَصْدِ الْمَهْرِ وَأَنْكَرَتْ صُدِّقَتْ هِيَ, إِنْ كَانَ الدَّفْعُ قَبْلَ الْعَقْدِ وَإِلاَّ صُدِّقَ هُوَ. قُلْتُ وَافَقَهُ فِى التُّحْفَةِ وَقَالَ فِى الْفَتَاوَى وَأَبُوْ مَحْرَمَةَ يُصَدَّقُ الزَّوْجُ مُطْلَقًا وَيُؤْخَذُ مِنْ قَوْلِهِمْ صُدِّقَتْ أَنَّهُ لَوْ أَقَامَ الزَّوْجُ بَيِّنَةً بِقَصْدِهِ الْمَذْكُوْرِ قُبِلَتْ.
“Jika seorang laki-laki memberikan sejumlah uang kepada tunangannya, kemudian ia mengaku bahwa pemberian tersebut dimaksudkan sebagai maskawin, sedangkan perempuan tersebut mengingkarinya, maka pengakuan perempuan tersebut yang diterima bila pemberian itu diserahkan sebelum akad nikah, dan jika diserahkan sesudahnya maka yang diterima adalah pengakuan laki-laki. Menurut saya, pendapat ini sama dengan pendapat (Ibnu Hajar) dalam kitab Tuhfah al-Muhtaj. Sedangkan menurut pendapatnya dalam kitab al-Fatawa dan pendapat Abu Mahramah, yang dibenarkan adalah pihak laki-laki secara mutlak. Dari pendapat mereka dapat difahami, bahwa pengakuan perempuan dapat dibenarkan, dalam arti walaupun laki-laki mengajukan bukti atas pengakuannya, pengakuan perempuan tetap dapat diterima.”
Begitu pula pendapat Zainudin al-Malaibari  dalam Fathul Mu’in:
لَوْ خَطَبَ امْرَأَةً ثُمَّ أَرْسَلَ أَوْ دَفَعَ بِلاَ لَفْظٍ إِلَيْهَا مَالاً قَبْلَ الْعَقْدِ أَي وَلَمْ يَقْصُدْ التَّبَرُّعَ ثُمَّ وَقَعَ اْلإِعْرَاضُ مِنْهَا أَوْ مِنْهُ رُجِعَ بِمَا وَصَلَهَا مِنْهُ كَمَا صَرَّحَ بِهِ جَمْعٌ مُحَقِّقُوْنَ وَلَوْ أَعْطَاهَا مَالاً فَقَالَتْ هَدِيَّةً وَقَالَ صَدَاقًا صُدِّقَ بِيَمِيْنِهِ.
“Seandainya seseorang melamar perempuan, kemudian ia memberikan sejumlah harta benda  kepadanya sebelum akad nikah tanpa disertai suatu pernyataan apa pun, dan ia tidak bermaksud sebagai pemberian (tabarru’), kemudian terjadi pengingkaran dari pihak perempuan atau laki-laki yang melamarnya, maka laki-laki itulah yang dimenangkan. Pendapat ini sesuai dengan yang dianut oleh sebagian besar ulama ahli tahqiq. Seandainya seorang laki-laki memberikan suatu harta benda, kemudian perempuan menyatakan sebagai hadiah, sedangkan laki-laki menyatakannya sebagai maskawin, maka pengakuan pihak laki-laki yang diterima dengan disertai sumpah.”
Tentang hal ini lebih jelas lagi apa yang dikatakan oleh Ibnu Hajar al-Haitami dalam Fatawal Kubra,sebagai jawaban dari sebuah pertanyaan serupa:
(وَسُئِلَ) عَمَّنْ خَطَبَ امْرَأَةً فَأَجَابُوْاهُ فَأَعْطَاهُمْ شَيْئًا مِنَ الْمَالِ يُسَمَّى الْجِهَازَ هَلْ تَمْلِكُهُ الْمَخْطُوْبَةُ أَوْ لاَ, بَيِّنُوْا لَنَا ذَلِكَ (فَأَجَابَ) بِأَنَّ الْعِبْرَةَ نِيَّةُ الْخَاطِبِ الدَّافِعِ فَإِنْ دَفَعَ بِنِيَّةِ الْهَدِيَّةِ مَلَكَتْهُ الْمَخْطُوْبَةُ أَوْ بِنِيَّةِ اِحْسَانِهِ مِنَ الْمَهْرِ حُسِبَ مِنْهُ. وَإِنْ كَانَ مِنْ غَيْرِ جِنْسِهِ أَوْ بِنِيَّةِ الرُّجُوْعِ بِهِ عَلَيْهَا إِذَا لَمْ يَحْصُلْ زِوَاجٌ أَوْ لَمْ يَكُنْ لَهُ نِيَّةٌ لَمْ تَمْلِكْهُ وَ يَرْجِعُ بِهِ عَلَيْهَا.

Pertanyaan, ada seorang laki-laki melamar seorang perelamarannya, lalu laki-laki tersebut memberikan sejumlah harta benda kepada mereka yang disebutkan sebagai persiapan (jihaz) nikah, apakah perempuan yang dilamar itu berhak memilikinya? Mohon dijelaskan!
Jawaban, sesungguhnya yang diterima adalah niat pelamar yang memberinya. Jika ia memberinya dengan niat sebagai hadiah, maka perempuan yang dilamar berhak memilikinya, atau jika laki-laki itu beniat sebagai maskawin, maka dianggap sebagai maskawin. Jika laki-laki itu berniat bukan sebagai maskawin atau ia berniat untuk menarik kembali jika perkawinan gagal atau ia tidak berniat apapun, maka perempuan itu tidak berhak memilikinya dan pemberian itu kembali kepada pihak laki-laki tersebut.”

Disarikan dari Ahkamul Fuqoha, kumpulan hasil-hasil bahtsul masail dalam Munas dan Muktamar NU dari tahun 1926-2010. (Redaktur: Ulil A. Hadrawy)

Shalat dengan Luka Berdarah

Keabsahan shalat bergantung pada terpenuhinya beberapa persyaratan. Satu di antaranya suci dari najis, baik badan pakaian maupun tempat. Kesucian ini dituntut sebagai perwujudan sikap ta’addub kepada Allah Swt. Dalam surat al-Mudattsir: 4 Ia berfirman: Artinya: “Dan pakaianmu sucikanlah” (QS. Al-Mudattsir: 4)Pengertian najis sebagai dijelaskan dalam al-Fiqh al-Manhaji adalah segala sesuatu yang dianggap kotor yang bisa mencegah sahnya shalat (kullu mustaqzar yamna’us shihhas shalat).
Berangkat dari definisi ini, tidak semua yang nampak kotor secara otomatis dihukumi najis seperti debu. Dalam menentukan benda yang najis dan suci tidak bisa dengan akal dan perasaan semata. Tetapi harus berpegang dengan dalil naqli.
Para ulama sepakat (ijma’ atau konsensus) bahwa darah termasuk barang najis. Pendapat tersebut didasarkan dari Al-Quran surat Al-An’am. 145 sebagai berikut: Artinya: “katakanlah, ‘Tiada aku peroleh dalam wahyu yang di wahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi. karena sesungguhnya semua itu kotor atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah…” (QS. Al-An,am:145) Selain darah, termasuk benda najis adalah urine, kotoran manusia atau hewan, bangkai dan lain-lain.
Seperti yang difahami bersama bahwa salah satu karakteristik agama Islam adalah mudah untuk dilaksanakandan tidak memberatkan (alyusr wa ’adamul haraj, al-samhah was sahlah). Karakteristik ini juga terlihat pada masalah najis, kaitannya dengan kebersihan shalat.
Dengan alasan kesulitan dihindari (li masyaqqatil ihtiraz), para ulama dalam kitab-kitab fiqih mengklasifikasikan najis menjadi dua: yaitu najis yang diampuni atau dimaafkan (al-ma’fuw) dan tidak diampuni (ghairul ma’fuw) najis kategori pertama tidak mencegah sahnya shalat.
Darah, salah satu benda najis, ada yang diampuni dan ada yang tidak diampuni. Dalam hal ini fuqaha secara kuantitatif membagi darah menjadi dua: sedikit dan banyak. Darah dalam jumlah sedikit dengan alasan susah dihindari  diampuni oleh syara’.
Terdapat beberapa menyangkut ukuran yang dipakai untuk menentukan banyak sedikitnya darah. Pendapat yang paling kuat mengatakan bahwa masalah tersebut dikembalikan pada anggapan masyarakat menganggap bahwa darah tersebut sedikit maka dihukumi sedikit, sebaliknya jika menganggap banyak maka dihukum banyak.
Menurut pendapat ini juga, kadar najis yang sulit dihindari dianggap sedikit, sedangkan yang mudah untuk dihindari dihukumi banyak.
Sebagian ulama lain membuat standar yang jelas, misalnya satu hasta (adz-zhira’), satu tapak tangan, seukuran kuku dan lain-lain. Jika melebihi ukuran kuku, menurut pendapat yang disebut terakhir, termasuk kategori banyak. Kalau kurang berarti sedikit. Semua pendapat ini boleh diikuti. (fathul jawad,13)
Darah yang berasal dari badan kita sendiri akibat menderita luka bisul, atau penyakit kulit yang lain diampuni meskipun jumlahnya banyak (Al-Iqna’.78), tetapi dengan tiga persyaratan. Pertama, bukan karena ulah kita sendiri (tidak disengaja). Kedua, tidak melampaui tempatnya, dalam artian tidak melewati anggota tubuh dimana luka tersebut berada. Maksudnya, jika luka terdapat dalam betis sampai paha. Kalau luka di tangan, tidak sampai ke pundak. Ketiga, darah tersebut tidak bercampur dengan benda lain.
Karena diampuni, maka darah yang keluar dari luka tidak mencegah sahnya shalat. Dan orang yang mempunyai luka bisa melakukan shalat seperti pada umumnya.
Sumber: KH.MA. Sahal Mahfudh. Dialaog Problematika Umat. Surabaya: Khalista & LTN PBNU