1.
Al-Umur bi Maqashidiha
”Semua persoalan tergantung pada maksud/tujuannya”.
Kaidah ini memberi pengertian bahwa setiap amal
perbuatan manusia, baik yang berwujud perkataan maupun perbuatan diukur menurut
niat si pelaku. Untuk mengetahui sejauhmana niat si pelaku, haruslah dilihat
adanya qarinah/alasan yang dapat dijadikan petunjuk untuk mengetahui jenis niat
dari pelakunya.
Sebagai contoh,
seorang pemburu yang menembak binatang buruan di hutan, yang kemudian ternyata
tidak mengenai sasarannya, akan tetapi pelurunya nyasar pada seorang pencari
kayu yang ada di hutan itu. Dalam kasus seperti ini, si pemburu yang melepaskan
tembakan itu tidak dapat dikategorikan sebagai pembunuhan sengaja, karena
dengan adanya hutan (sebagai qarinah/alasan) yang menghalangi atau mengganggu
penglihatan terhadap binatang buruan tersebut, yang mengakibatkan kesalahan
sehingga peluru nyasar ke tubuh si pencari kayu. Dengan demikian si pemburu
hanya dapat dikategorikan sebagai orang yang melakukan pembunuhan tidak
sengaja.
2. Al-Yaqinu la yuzalu bi
al-syakki
”Sesuatu yang sudah yakin tidak
dapat dihilangkan hanya karena adanya sesuatu yang meragukan (syak)”.
Maksud kaidah ini ialah : Apabila
seseorang telah meyakini suatu persoalan, maka yang telah yakin ini tidak dapat
dihilangkan dengan munculnya sesuatu keraguan. Contoh: Seseorang yang telah
mengambil air wudlu’, kemudian datang keraguan apakah ia berhadats atau tidak?
Dalam hal seperti ini ia dapat menetapkan hukum apa yang telah ia yakini, yaitu
ia masih punya wadlu’ dan belum berhadats.
3. Al-Dlararu
yuzalu syar’an
”Menurut syara’ bahwa bahaya itu harus
dihilangkan”.
Kaidah ini
sangat luas cakupannya, baik dalam bidang ibadah, muamalah maupun dalam bidang
jinayah. Dalam bidang ibadah, seperti: Karena air yang akan dipakai untuk
berwudlu, tercemar dan membahayakan, maka kita boleh bertayammum. Dalam bidang
mu’amalah, contohnya: Seseorang dapat mengembalikan barang yang telah dibeli,
karena ada cacatnya, agar tidak merugikan salah satu pihak, Itulah disebut
dengan hak khiyar (hak yang diberikan kepada seseorang untuk melanjutkan
transaksinya atau membatalkannya). Dalam bidang jinayah (tindak pidana),
seperti perampok dapat dijatuhi hukum mati, agar tidak meresakan kehidupan
masyarakat.
4. Al-Masyaqqatu tajlibu al-taisir
”Kesukaran itu dapat menimbulkan
kemudahan”.
Dalam keadaan
musafir, diperbolehkan menqashar shalat, dari empat rakaat menjadi dua rakaat.
Selain diperbolehkan mengqashar shalat bagi musafir, masih banyak
kemudahan-kemudahan yang diberikan kepadanya, antara lain: Diperbolehkan
berbuka puasa, diperbolehkan makan bangkai atau makan makanan lain yang
diharamkan, dikala tidak ada makanan selain bangkai yang diharamkan itu.
5. Al-Adatu
muhkamatun
”Adat kebiasaan dapat dijadikan
dasar hukum”.
Para fuqaha memberikan definisi adat kebiasaan
sebagai berikut: ”Adat ialah segala yang telah dikenal manusia, sehingga hal
itu menjadi suatu kebiasaan yang berlaku dalam kehidupan mereka baik berupa
perkataan atau perbuatan”. Contoh: Jika seorang wali kemanten wanita lupa
menyebutkan mahar pada waktu akad nikah, maka mahar dapat ditentukan dengan
mahar mitsil/mahar yang biasa berlaku di daerah itu.
Sedangkan adat yang berlawanan
dengan nash atau jiwa syari’ah, maka tidak boleh dijadikan sumber penetapan
hukum, seperti melek-an (bhs. Jawa) sambil main judi. Melek-annya boleh, tetapi
main judinya yang tidak boleh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar