PELANTIKAN PENGURUS NAHDLOTUL ULAMA " MWC " JEPON, MASA KHIDMAT 2012 - 2017 PADA : 27 MEI 2013. DI KIDANGAN JEPON , BLORA , JAWA TENGAH , INDONESIA No Telepon Pengurus 085 292 156 100 ...............................Blog Masih Dalam Proses Pengeditan jika ada Judul Posting yg masih kosong mohon dimaklumi,,,,salam kenal dan selamat bergabung dengan BLOG kami.....

Minggu, 02 Juni 2013

Hukum Perempuan Mengenakan Celana Ketat


Busana menunjukkan budaya. Salah satu cara mengenal orang adalah dari busana yang dikenakannya. Kita bisa tahu dari mana seseorang berasal ketika kita melihat gaya busananya. Ada adat Jawa, adat Batak dan lain sebagainya. Busana juga menunjukkan jati diri seseorang. Karena busana merupakan tanda. Tanda selalu menunjukkan sesuatu yang ditandainya. Lampu Merah merupakan tanda untuk berhenti, hijau tandanya berjalan. Begitu juga dengan busana kerudung seharusnya menunjukkan kesalehan, begitu juga dengan peci.
Akan tetapi bersama berjalannya waktu dan derasnya arus teknologi informasi, seolah-olah penandaan tersebut sudah tidak berlaku lagi. Ini dikarenakan kejamnya penjajahan industri busana dan mode terhadap busana tradisional. Maka muncullah berbagai macam model busana yang bertentangan dengan kaedah Islam. Misalnya celana ketat, atau juga rok pendek. Lantas bagaimanakah hukumnya bagi muslimah yang tidak bisa menghindari model busana seperti tersebut, entah karena tuntutan profesi (dalam bekerja) atau memang sebagai pilihan tersendiri?
Sebenarnya Islam telah menegaskan bahwa batasan aurat dalam sholat maupun di luar sholat adalah sama. Jika aurat laki-laki adalah pusar hingga dengkul, sedangkan aurat untuk perempuan semua anggota badan selain mata dan telapak tangan. Lalu bagaimanakah jika perempuan memakai celana ketat, bukankah itu telah menutup aurat?
Mengenai hal ini fiqih mempunyai dua pendapat; pertama tidak diperbolehkan bagi wanita memakai celana ketat sehingga menimbulkan syahwat bagi yang melihatnya apalagi sampai kelihatan warna kulitnya. Seperti yang terdapat dalam Mauhibah Dzil Fadlal juz II hal.326-327, dan dalam Minhajul Qawim juz I hal 234
وشرط الساتر فى الصلاة وخارجها ان يشمل المستور لبسا ونحوه مع ستر اللون فيكفى مايمنع ادراك لون البشرة
Hukum kedua adalah makruh seperti ditunjukkan dalam I’anatut Thalibin juz I, hal 134:
ويكفى مايحكى لحجم الاعضاء (اي ويكفي جرم يدرك الناس منه قدرالاعضاء كسراويل ضيقة) لكنه خلاف الأولى (اي للرجل واماالمرأة والخنثى فيكره لهما) (حاشية اعانة الطالبين ج 1 ص 134)


Jumat, 31 Mei 2013

Hutang Kepada Orang yang Sudah Meninggal


Kematian adalah suatu keniscayaan bagi semua orang. Suatu saat kita pasti mengalaminya. Kematian bukanlah akhir dari suatu perjalanan kehidupan manusia, justru dengan kematian kehidupan lain di akhirat baru dimulai.Karena itu langkah terbaik adalah bagaimana semaksimal mungkin menjalankan ibadah dan amal saleh sesuai dengan kemampuan yang kita miliki. Kita beramal seakan-akan besok akan meninggal, dan mengerjakan kehidupan duniawi seakan-akan hidup selamanya. Dengan beitu niscaya akan tercapai keseimbangan antara kehidupan dunia dan akhirat.
Harta bukanlah tujuan, tapi sarana mempertahankan hidup dan beribadah. Namun, banyak diantara kita yang berusaha mengantisipasi keadaan sepuluh tahun, lima puluh tahun bahkan seratus tahun yang akan datang, tanpa jarang yang mengantisipasi kehidupan akhirat.
Sehubungan dengan harta, hutang-piutang merupakan salah satu hal penting yang dibahas dalam fiqih. Karena dalam sebuah hadits diterangkan bahwa Rasulullah Saw. tidak mau meshalati jenazah yang masih menanggung utang. Karena orang yang meningal masih dalam keadaan menanggung utang, di akhirat kelak akan dituntut dan dimintai pertanggung jawaban.
Oleh karena itu setiap muslim harus berusaha sekuat tenaga melunasi hutang-hutangnya. Kalau memang tidak mampu, hendaknya meminta kerelaan dain (pihak yang menghutangi) untuk membebaskannya. Dalam istilah fiqih hal ini disebut dengan istilah ibra’.
Kewajiban membayar hutang tidak gugur meski dain telah meninggal. Sebab dengan kematian akan terjadi proses pewarisan atau peralihan kepemilikan dari si jenazah kepada ahli warisnya. Termasuk harta yang diwariskan adalah hutang-hutang yang diberiakn kepada si jenazah kepada orang lain semasa hidupnya.
Dengan demikian, madin (pihak yang berhutang) diwajibkan  membayar hutangnya kepada ahli waris almarhum atau almarhumah. Adalah beban madin untuk berusaha mencari mereka guna membayar hutang.
Pertanyaannya , bagaimana jika ahli waris tidak diketahui tempatnya? Seandainya semua ahli waris tidak ditemukan, dan madin pun tampak putus asa, tidak ada harapan sama sekali, kondisi ini tidak secara otomatis menggugurkan kewajiban. Dia masih terbebani melunasinya. Bagaimana caranya? Hal itu diatur dalam kitab Bughyatul Mustarsyidin, yakni dengan menyerahkan hutang itu untuk kepentingan umat Islam.
Jika didaerahnya kebetulan ada usaha pembangunan masjid atau madrasah, hutang tersebut bisa disumbangkan. Meski jumlahnya mungkin tak seberapa dibandingkan dengan biaya yang dibutuhkan untuk pembangunan itu. Karena yang penting, si madin menemukan saluran untuk melunasi utangnya.
Dalam hukum hutang-piutang, bila utang beras 10 kilogram, maka membayarnya juga dengan jumlah dan kualitas yang sama pula. Hutang seratus ribu rupiah membayarnya juga seratus  ribu rupiah. Itu adalah kewajiban dan ketentuan minimal. Dalam suatu hadis Rasulullah Saw. bersabda:
Artinya: “sesungguhnya yang terbaik diantara kalian adalah yang paling baik dalam membayar hutang” (Muttafaq Alaihi)
Membayar hutang dengan baik, artinya membayar degan jumlah lebih besar atau dengan kualitas lebih baik, disamping tidak mengulur-ulur waktu kalau pada kenyataanya telah sanggup melunasi. Hanya saja, harus diingat, tambahan yang dibayarkan haruslah dilakukan dengan sukarela dan tidak di syaratkan pada saat akad peminjaman dilakukan. Hal itu betul-betul berdasarkan ketentuan dari si madin. Sebab kalau diwajibkan atau di syaratkan pada saat akad, maka hukumnya malah menjadi haram. Sebab,  hal itu termasuk praktek riba, yang nyata-nyata diharamkan Islam, karena berlawanan dengan semangat saling membantu dan persaudaraan, at-ta’awun wa al-ukhuwah.

Sumber: KH.MA. Sahal Mahfudh. Dialaog Problematika Umat. Surabaya: Khalista & LTN PBNU