PELANTIKAN PENGURUS NAHDLOTUL ULAMA " MWC " JEPON, MASA KHIDMAT 2012 - 2017 PADA : 27 MEI 2013. DI KIDANGAN JEPON , BLORA , JAWA TENGAH , INDONESIA No Telepon Pengurus 085 292 156 100 ...............................Blog Masih Dalam Proses Pengeditan jika ada Judul Posting yg masih kosong mohon dimaklumi,,,,salam kenal dan selamat bergabung dengan BLOG kami.....

Minggu, 02 Juni 2013

Qowaidul Fiqhiah


1.                 Al-Umur bi Maqashidiha
”Semua persoalan tergantung pada maksud/tujuannya”.
Kaidah ini memberi pengertian bahwa setiap amal perbuatan manusia, baik yang berwujud perkataan maupun perbuatan diukur menurut niat si pelaku. Untuk mengetahui sejauhmana niat si pelaku, haruslah dilihat adanya qarinah/alasan yang dapat dijadikan petunjuk untuk mengetahui jenis niat dari pelakunya.
Sebagai contoh, seorang pemburu yang menembak binatang buruan di hutan, yang kemudian ternyata tidak mengenai sasarannya, akan tetapi pelurunya nyasar pada seorang pencari kayu yang ada di hutan itu. Dalam kasus seperti ini, si pemburu yang melepaskan tembakan itu tidak dapat dikategorikan sebagai pembunuhan sengaja, karena dengan adanya hutan (sebagai qarinah/alasan) yang menghalangi atau mengganggu penglihatan terhadap binatang buruan tersebut, yang mengakibatkan kesalahan sehingga peluru nyasar ke tubuh si pencari kayu. Dengan demikian si pemburu hanya dapat dikategorikan sebagai orang yang melakukan pembunuhan tidak sengaja.

2. Al-Yaqinu la yuzalu bi al-syakki
”Sesuatu yang sudah yakin tidak dapat dihilangkan hanya karena adanya sesuatu yang meragukan (syak)”.
Maksud kaidah ini ialah : Apabila seseorang telah meyakini suatu persoalan, maka yang telah yakin ini tidak dapat dihilangkan dengan munculnya sesuatu keraguan. Contoh: Seseorang yang telah mengambil air wudlu’, kemudian datang keraguan apakah ia berhadats atau tidak? Dalam hal seperti ini ia dapat menetapkan hukum apa yang telah ia yakini, yaitu ia masih punya wadlu’ dan belum berhadats.

3. Al-Dlararu yuzalu syar’an
”Menurut syara’ bahwa bahaya itu harus dihilangkan”.
Kaidah ini sangat luas cakupannya, baik dalam bidang ibadah, muamalah maupun dalam bidang jinayah. Dalam bidang ibadah, seperti: Karena air yang akan dipakai untuk berwudlu, tercemar dan membahayakan, maka kita boleh bertayammum. Dalam bidang mu’amalah, contohnya: Seseorang dapat mengembalikan barang yang telah dibeli, karena ada cacatnya, agar tidak merugikan salah satu pihak, Itulah disebut dengan hak khiyar (hak yang diberikan kepada seseorang untuk melanjutkan transaksinya atau membatalkannya). Dalam bidang jinayah (tindak pidana), seperti perampok dapat dijatuhi hukum mati, agar tidak meresakan kehidupan masyarakat.

4. Al-Masyaqqatu tajlibu al-taisir
”Kesukaran itu dapat menimbulkan kemudahan”.
Dalam keadaan musafir, diperbolehkan menqashar shalat, dari empat rakaat menjadi dua rakaat. Selain diperbolehkan mengqashar shalat bagi musafir, masih banyak kemudahan-kemudahan yang diberikan kepadanya, antara lain: Diperbolehkan berbuka puasa, diperbolehkan makan bangkai atau makan makanan lain yang diharamkan, dikala tidak ada makanan selain bangkai yang diharamkan itu.

5. Al-Adatu muhkamatun
”Adat kebiasaan dapat dijadikan dasar hukum”.
Para fuqaha memberikan definisi adat kebiasaan sebagai berikut: ”Adat ialah segala yang telah dikenal manusia, sehingga hal itu menjadi suatu kebiasaan yang berlaku dalam kehidupan mereka baik berupa perkataan atau perbuatan”. Contoh: Jika seorang wali kemanten wanita lupa menyebutkan mahar pada waktu akad nikah, maka mahar dapat ditentukan dengan mahar mitsil/mahar yang biasa berlaku di daerah itu.
Sedangkan adat yang berlawanan dengan nash atau jiwa syari’ah, maka tidak boleh dijadikan sumber penetapan hukum, seperti melek-an (bhs. Jawa) sambil main judi. Melek-annya boleh, tetapi main judinya yang tidak boleh.

Hukum Perempuan Mengenakan Celana Ketat


Busana menunjukkan budaya. Salah satu cara mengenal orang adalah dari busana yang dikenakannya. Kita bisa tahu dari mana seseorang berasal ketika kita melihat gaya busananya. Ada adat Jawa, adat Batak dan lain sebagainya. Busana juga menunjukkan jati diri seseorang. Karena busana merupakan tanda. Tanda selalu menunjukkan sesuatu yang ditandainya. Lampu Merah merupakan tanda untuk berhenti, hijau tandanya berjalan. Begitu juga dengan busana kerudung seharusnya menunjukkan kesalehan, begitu juga dengan peci.
Akan tetapi bersama berjalannya waktu dan derasnya arus teknologi informasi, seolah-olah penandaan tersebut sudah tidak berlaku lagi. Ini dikarenakan kejamnya penjajahan industri busana dan mode terhadap busana tradisional. Maka muncullah berbagai macam model busana yang bertentangan dengan kaedah Islam. Misalnya celana ketat, atau juga rok pendek. Lantas bagaimanakah hukumnya bagi muslimah yang tidak bisa menghindari model busana seperti tersebut, entah karena tuntutan profesi (dalam bekerja) atau memang sebagai pilihan tersendiri?
Sebenarnya Islam telah menegaskan bahwa batasan aurat dalam sholat maupun di luar sholat adalah sama. Jika aurat laki-laki adalah pusar hingga dengkul, sedangkan aurat untuk perempuan semua anggota badan selain mata dan telapak tangan. Lalu bagaimanakah jika perempuan memakai celana ketat, bukankah itu telah menutup aurat?
Mengenai hal ini fiqih mempunyai dua pendapat; pertama tidak diperbolehkan bagi wanita memakai celana ketat sehingga menimbulkan syahwat bagi yang melihatnya apalagi sampai kelihatan warna kulitnya. Seperti yang terdapat dalam Mauhibah Dzil Fadlal juz II hal.326-327, dan dalam Minhajul Qawim juz I hal 234
وشرط الساتر فى الصلاة وخارجها ان يشمل المستور لبسا ونحوه مع ستر اللون فيكفى مايمنع ادراك لون البشرة
Hukum kedua adalah makruh seperti ditunjukkan dalam I’anatut Thalibin juz I, hal 134:
ويكفى مايحكى لحجم الاعضاء (اي ويكفي جرم يدرك الناس منه قدرالاعضاء كسراويل ضيقة) لكنه خلاف الأولى (اي للرجل واماالمرأة والخنثى فيكره لهما) (حاشية اعانة الطالبين ج 1 ص 134)