PELANTIKAN PENGURUS NAHDLOTUL ULAMA " MWC " JEPON, MASA KHIDMAT 2012 - 2017 PADA : 27 MEI 2013. DI KIDANGAN JEPON , BLORA , JAWA TENGAH , INDONESIA No Telepon Pengurus 085 292 156 100 ...............................Blog Masih Dalam Proses Pengeditan jika ada Judul Posting yg masih kosong mohon dimaklumi,,,,salam kenal dan selamat bergabung dengan BLOG kami.....

Jumat, 31 Mei 2013

Wanita Haid Boleh ke Majlis Taklim


Apa susahnya bikin perkumpulan? Ibu-ibu di negeri ini biasa berkumpul untuk arisan, PKK, gerakan lingkungan hidup, kesejahteraan keluarga dan lain-lain. Patut dinilai positif gerakan kaum ibu ini. Mereka cukup punya militansi luar biasa terhadap perkumpulannya.Perkumpulan kaum ibu sangat efektif untuk sosialisasi program-program yang menyangkut kemaslahatan umum. Bagaimana tidak? Kaum ibu adalah jantung dari komunitas terkecil kehidupan sosial. Mereka mudah masuk ke pihak bapak dan anak mengingat posisinya yang sangat strategis di tengah keluarga.
Majelis taklim, bukan perkecualian untuk dibentuk oleh kaum ibu. Hampir setiap kampung di negeri ini, majelis taklim kaum ibu berdiri. Layaknya transportasi kota, majelis taklim adalah patas AC. Penumpang di dalamnya menemukan kesejukan. Perkumpulan kaum ibu yang satu ini memiliki keistimewaan dan hukum tersendiri meskipun sama penting dengan perkumpulan kaum ibu di bidang yang lain.
Sebelum wejangan berhamburan dari mulut para ustazah, lantunan shalawat dan rupa-rupa zikir membahana aula majelis. Pengeras suara semacam perangkat yang mendekati wajib untuk digunakan. Ini satu keistimewaan tersendiri. Mereka yang berada dalam masa suci, tak lupa mengambil air sembahyang terlebih dahulu meski bukan untuk melakukan sembahyang. Ibu dari beragam latar belakang sosial dan pendidikan, tak peduli suaminya memeluk profesi apapun, masuk lebur dalam perkumpulan ini.
Perkumpulan kaum ibu dalam wadah majelis taklim ini, tak pernah tersandung hukum sehingga kehadirannya tak membutuhkan izin birokrasi pemerintah yang berbelit. Mereka jauh dari agenda politik bawah tanah. Apalagi niat kudeta, sungguh sama sekali tak terbesit. Singkat cerita, perkumpulan ini murni gerakan kultural-keagamaan.
Tetapi adakah perkumpulan ini dimaksudkan untuk ibu yang suci saja, tidak bagi ibu yang tengah haid atau nifas?
Dilihat dari sudut fiqh, ternyata tak ada masalah. Ibu yang sedang haid atau nifas, boleh langsung sambar sandalnya untuk menuju majelis taklim tanpa perlu mengambil air sembahyang. Keduanya boleh ikut berzikir apa saja tanpa menyentuh tulisannya. Untuk bacaan yang terkait ayat Al-quran, keduanya boleh membacanya dengan niat zikir, bukan niat membaca Alquran.
Sebagaimana diterangkan oleh Syekh Nawawi al-Bantani dalam kitabnya Kasyifatus Saja
ولا يحرم على الحائض والنفساء حضور المحتضر على المعتمد
Tiada keharaman bagi wanita yang tengah haid atau yang tengah menanti habisnya masa nifas untuk menghadiri tempat hadir (majelis taklim– penulis),
Boleh dibilang bahwa haid dan nifas bukan alasan untuk libur beraktifitas, termasuk kegiatan perkumpulan majelis taklim. Karena, kaum ibu sangat baik terlibat dalam kegiatan yang menyangkut maslahat umum, terlebih lagi perkumpulan majelis taklim. Perkumpulan ini punya catatan tersendiri di sisi Allah Swt.

Mendahulukan Mahar


Mahar atau maskawin bagi sepasang pengantin adalah sesuatu yang berharga. Bahkan dalam masyarakat tertentu, maskawin menandakan tingkat ekonomi dan strata social pengantin lelaki. Makin besar jumlah maskawin yang diberikan seorang lelaki, membuktikan makin tinggi drajat social lelaki tersebut. disamping itu, maskwain juga menyimbolkan keberhargaan seorang perempuan. Semakin tinggi maskawin yang disyaratkan seorang perempuan menunjukkan kwalitas perempuan tersebut.Bagi sebagian masyarakat maskawin lebih bermakna dari sekedar hitung-hitungan ekonomis. Seringkali maskwain menjadi lambang bagi kehidupan baru yang hendak ditempuh oleh sepasang pengantin. Misalnya maskawin berupa seperangkat alat shalat yang dapat dimaknai sebagai pengharapan untuk kehidupan mendatang yang lebih agamis.
Malahan sebagian pengantin yang kreatif, menjadikan maskawin sebagai monumen pengikat sejarah. Hal ini dapat dilakukan dengan memberikan sesuatu yang nilainya menunjukkan pada tanggal bulan dan tahun pernikahan. Misalnya memberi maskawin sejumlah Rp. 3.042.012,- guna mengabadikan tanggal 30 april tahun 2012.
Pada dasarnya Islam sendiri tidak pernah menentukan bentuk dan besaran maskawin. Karena Islam memandang maskawin sebagai sebuah representasi penghargaan terhadap kemuliaan seorang perempuan. Begitu tingginya posisi seorang perempuan hingga Islam mewajibkan maskawin bagi lelaki yang hendak menikahianya. Sebagaimana tersebut dalam surat an-Nisa’ ayat 44

وَآَتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَرِيئًا
“Berikanlah mahar (maskawin) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian yang wajib. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari mahar itu dengan senang hati, Maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya” (Qs. An-Nisa’ : 4).
Bahkan dalam sebuah hadits Rasulullah saw pernah menasehati seorang sahabat untuk memberikan maskawin walau sepotong cincin yang terbuat dari besi التمس ولو خاتما من حديد “Carilah olehmu (mahar) meskipun hanya sebuah cincin dari besi”. (HR. Bukhari).
Akan tetapi kenyataan sekarang sungguh berbeda. Longgarnya batas komunikasi menjadikan sepasang calon pengantin dapat berjumpa dan bersosialisasi sesering mungkin. Hingga tak jarang seorang laki-laki yang kedudukannya masih sebatas ‘pacar’ telah memberikan kepada pasangannya beberapa barang mewah. Tidak hanya sekedar baju dan tas, tetapi juga HP dan motor misalnya. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, jika hubungan mereka berdua berlanjut hingga pernikahan, Dapatkah barang-barang pemberian lelaki itu dikatagorikan sebagai maskawin atau mahar? Dan bagaimana hukum nikah dengan maskawin yang telah diberikan terlebih dahulu?
Abdurrahman Ba’alawi dalam Bughyatul Mustarsyidin menerangkan bahwa hal tersebut dapat dibenarkan. Baik akad nikah maupun maharnya dianggap sah seperti yang ditulisnya;
(مَسْأَلَةُ ش) دَفَعَ لِمَخْطُوْبَتِهِ مَالاً ثُمَّ ادَّعَى أَنَّهُ بِقَصْدِ الْمَهْرِ وَأَنْكَرَتْ صُدِّقَتْ هِيَ, إِنْ كَانَ الدَّفْعُ قَبْلَ الْعَقْدِ وَإِلاَّ صُدِّقَ هُوَ. قُلْتُ وَافَقَهُ فِى التُّحْفَةِ وَقَالَ فِى الْفَتَاوَى وَأَبُوْ مَحْرَمَةَ يُصَدَّقُ الزَّوْجُ مُطْلَقًا وَيُؤْخَذُ مِنْ قَوْلِهِمْ صُدِّقَتْ أَنَّهُ لَوْ أَقَامَ الزَّوْجُ بَيِّنَةً بِقَصْدِهِ الْمَذْكُوْرِ قُبِلَتْ.
“Jika seorang laki-laki memberikan sejumlah uang kepada tunangannya, kemudian ia mengaku bahwa pemberian tersebut dimaksudkan sebagai maskawin, sedangkan perempuan tersebut mengingkarinya, maka pengakuan perempuan tersebut yang diterima bila pemberian itu diserahkan sebelum akad nikah, dan jika diserahkan sesudahnya maka yang diterima adalah pengakuan laki-laki. Menurut saya, pendapat ini sama dengan pendapat (Ibnu Hajar) dalam kitab Tuhfah al-Muhtaj. Sedangkan menurut pendapatnya dalam kitab al-Fatawa dan pendapat Abu Mahramah, yang dibenarkan adalah pihak laki-laki secara mutlak. Dari pendapat mereka dapat difahami, bahwa pengakuan perempuan dapat dibenarkan, dalam arti walaupun laki-laki mengajukan bukti atas pengakuannya, pengakuan perempuan tetap dapat diterima.”
Begitu pula pendapat Zainudin al-Malaibari  dalam Fathul Mu’in:
لَوْ خَطَبَ امْرَأَةً ثُمَّ أَرْسَلَ أَوْ دَفَعَ بِلاَ لَفْظٍ إِلَيْهَا مَالاً قَبْلَ الْعَقْدِ أَي وَلَمْ يَقْصُدْ التَّبَرُّعَ ثُمَّ وَقَعَ اْلإِعْرَاضُ مِنْهَا أَوْ مِنْهُ رُجِعَ بِمَا وَصَلَهَا مِنْهُ كَمَا صَرَّحَ بِهِ جَمْعٌ مُحَقِّقُوْنَ وَلَوْ أَعْطَاهَا مَالاً فَقَالَتْ هَدِيَّةً وَقَالَ صَدَاقًا صُدِّقَ بِيَمِيْنِهِ.
“Seandainya seseorang melamar perempuan, kemudian ia memberikan sejumlah harta benda  kepadanya sebelum akad nikah tanpa disertai suatu pernyataan apa pun, dan ia tidak bermaksud sebagai pemberian (tabarru’), kemudian terjadi pengingkaran dari pihak perempuan atau laki-laki yang melamarnya, maka laki-laki itulah yang dimenangkan. Pendapat ini sesuai dengan yang dianut oleh sebagian besar ulama ahli tahqiq. Seandainya seorang laki-laki memberikan suatu harta benda, kemudian perempuan menyatakan sebagai hadiah, sedangkan laki-laki menyatakannya sebagai maskawin, maka pengakuan pihak laki-laki yang diterima dengan disertai sumpah.”
Tentang hal ini lebih jelas lagi apa yang dikatakan oleh Ibnu Hajar al-Haitami dalam Fatawal Kubra,sebagai jawaban dari sebuah pertanyaan serupa:
(وَسُئِلَ) عَمَّنْ خَطَبَ امْرَأَةً فَأَجَابُوْاهُ فَأَعْطَاهُمْ شَيْئًا مِنَ الْمَالِ يُسَمَّى الْجِهَازَ هَلْ تَمْلِكُهُ الْمَخْطُوْبَةُ أَوْ لاَ, بَيِّنُوْا لَنَا ذَلِكَ (فَأَجَابَ) بِأَنَّ الْعِبْرَةَ نِيَّةُ الْخَاطِبِ الدَّافِعِ فَإِنْ دَفَعَ بِنِيَّةِ الْهَدِيَّةِ مَلَكَتْهُ الْمَخْطُوْبَةُ أَوْ بِنِيَّةِ اِحْسَانِهِ مِنَ الْمَهْرِ حُسِبَ مِنْهُ. وَإِنْ كَانَ مِنْ غَيْرِ جِنْسِهِ أَوْ بِنِيَّةِ الرُّجُوْعِ بِهِ عَلَيْهَا إِذَا لَمْ يَحْصُلْ زِوَاجٌ أَوْ لَمْ يَكُنْ لَهُ نِيَّةٌ لَمْ تَمْلِكْهُ وَ يَرْجِعُ بِهِ عَلَيْهَا.

Pertanyaan, ada seorang laki-laki melamar seorang perelamarannya, lalu laki-laki tersebut memberikan sejumlah harta benda kepada mereka yang disebutkan sebagai persiapan (jihaz) nikah, apakah perempuan yang dilamar itu berhak memilikinya? Mohon dijelaskan!
Jawaban, sesungguhnya yang diterima adalah niat pelamar yang memberinya. Jika ia memberinya dengan niat sebagai hadiah, maka perempuan yang dilamar berhak memilikinya, atau jika laki-laki itu beniat sebagai maskawin, maka dianggap sebagai maskawin. Jika laki-laki itu berniat bukan sebagai maskawin atau ia berniat untuk menarik kembali jika perkawinan gagal atau ia tidak berniat apapun, maka perempuan itu tidak berhak memilikinya dan pemberian itu kembali kepada pihak laki-laki tersebut.”

Disarikan dari Ahkamul Fuqoha, kumpulan hasil-hasil bahtsul masail dalam Munas dan Muktamar NU dari tahun 1926-2010. (Redaktur: Ulil A. Hadrawy)