Oleh Rumadi *
TANGGAL 17 Juli 2011 besok,
Nahdlatul Ulama (NU) akan melakukan Rapat Akbar di Gelora Bung Karno (GBK)
Senayan Jakarta untuk merayakan Hari Ulang Tahun ke-85. Hal ini berarti NU
telah 85 tahun mengabdikan dirinya untuk bangsa dan Negara. Pengabdian NU itu
dilakukan sejak merancang untuk mendirikan Negara, mempertahankan, hingga menjaga
Negara Indonesia dari berbagai tindakan yang mengancam eksistensinya.
Sejak didirikan 85 tahun yang
lalu, tentu sudah banyak perubahan-perubahan yang terjadi di dalam NU, baik
perubahan structural maupun kultural. Salah satu perubahan penting yang ingin
dibahas dalam tulisan pendek ini adalah persoalan pengelolaan dan
pendistribusian Sumber Daya Manusia (SDM) NU. Hal ini penting untuk dipikirkan
mengingat potensi SDM warga NU yang luar biasa dan belum terkoordinasi dengan
baik. Tentu tulisan ini tidak berpretensi mengelaborasi seluruh persoalan SDM
NU, tapi hanya terkait dengan pemanfaatan kader-kader muda NU terdidik. Mereka
adalah generasi baru di dalam NU yang sangat potensial untuk menjadi kekuatan
NU.
Tahun 50-an dan 60-an, ketika NU
dan para politisi NU memperoleh posisi politik yang cukup baik, salah satu
problem yang dihadapi adalah bagaimana mencari kader-kader NU yang bisa
ditempatkan dalam berbagai posisi strategis pemerintahan. Hal ini
ternyata tidak mudah didapatkan, karena saat itu anak-anak NU lebih banyak
terkonsentrasi di pesantren dan tidak banyak yang berpendidikan tinggi. Bahkan,
ada yang mengibaratkan, mencari generasi NU yang bisa ditempatkan di birokrasi
pemerintahan seperti mencari jarum dalam tumpukan jerami pada malam hari.
Namun, seiring dengan
perkembangan waktu hal itu mulai berubah. Perubahan tersebut disebabkan
beberapa hal.Pertama, adanya Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI)
dalam berbagai bentuk kelembagaannya, mulai dari IAIN, UIN, STAIN dan Perguruan
Tinggi Islam swasta. Adanya lembaga-lembaga pendidikan tinggi tersebut telah
menyediakan ruang mobilitas sosial baru bagi anak-anak NU. Hal ini mulai bisa
dilihat pada awal 80-an dimana mulai banyak anak-anak NU yang bergelar sarjana.
Hal inilah yang menjadikan orang seperti Nurcholish madjid pernah berujar,
bahwa tahun 2000-an akan terjadi intellectual booming dalam
masyarakat NU. Apa yang dikatakan Cak Nur tersebut sudah terbukti.
Kedua, adanya orientasi baru di kalangan tokoh-tokoh NU yang tidak
hanya menyekolahkan anaknya ke pesantren dan PTAI, tapi juga ke perguruan
tinggi umum. Mereka tidak hanya dididik dalam tradisi Islamic studiestapi
juga dalam ilmu-ilmu sekuler. Dalam komunitas NU, kecenderungan seperti ini
memang bisa dikatakan terlambat bila dibandingkan dengan kader-kader
Muhammadiyah yang sudah mengenal "tradisi sekolahan" sejak pra
kemerdekaan. Di lingkungan NU, tren demikian baru mulai tampak agak massif pada
awal 80-an.
Ketiga, sejak awal 90-an seiring dengan dibukanya program pascasarjana di
PTAI, mulai banyak anak-anak NU yang menempuh pendidikan S2 dan S3. Hal yang
sama juga terjadi di Perguruan Tinggi Umum, dimana anak-anak NU banyak yang
bergelar master dan doktor. Hingga sekarang ini, kader-kader NU sudah banyak
sekali yang bergelar doctor dalam berbagai bidang keahlian.
Keempat,terkait dengan sebelumnya, sejak tahun 90-an juga banyak anak-anak
NU yang menempuh pendidikan tinggi di perguruan tinggi ternama di Amerika,
Eropa dan Australia. Hal ini berbeda dengan tradisi ke Timur Tengah dimana
sudah sejak lama banyak anak-anak NU yang sekolah ke sana. Banyaknya anak-anak
NU yang sekolah ke "Barat" ini cukup menarik. Bahkan, tidak sedikit
mahasiswa-mahasiswa yang ketika masih di Indonesia tidak begitu merasa menjadi
bagian dari NU, namun ketika di luar negeri itu mereka mengalami peneguhan
identitas ke-NU-annya. Hal ini misalnya tampak dari asosiasi-asosiasi yang
mereka buat, baik dengan membuat Pengurus NU Cabang Istimewa atau membuat milis
warga NU.
Bagaimana Mengelola?
Penjelasan tersebut tampak bahwa
jalur pendidikan telah membuka ruang mobilitas sosial baru warga NU.
Pertanyaannya, apakah NU secara kelembagaan sudah mampu memanfaatkan SDM NU
terdidik tersebut? Inilah pertanyaan besar yang pasti sulit untuk dijawab.
Bahkan, ketika masih menjadi Ketua Umum PBNU, KH. Hasyim Muzadi juga
kebingungan untuk menjelaskan hal ini, sampai-sampai dia bilang: "apakah
doktor-doktor dari luar negeri itu disuruh jadi ketua ranting NU?". Hal
ini menunjukkan belum adanya desain yang jelas untuk pengelolaan SDM NU.
Sekarang ini, NU telah
kebanjiran orang-orang terdidik yang tinggal memetik dan memanfaatkan. Tidak
usah bermimpi dengan program mencetak 1000 doktor seperti digagas KH. Said Aqil
Siraj ketika hendak dicalonkan menjadi Ketua Umum PBNU awal tahun 2010 lalu.
Tidak usah menanam, NU kini tinggal panen sebenarnya. Namun karena belum adanya
desain yang jelas maka pengaruh adanya tenaga-tenaga terdidik tersebut belum
terasa manfaatnya bagi NU. Bahkan, ada seorang aktifis NU di luar negeri yang
bercerita, banyak kawan-kawannya yang mengalami keterasingan dengan NU justru
ketika mereka pulang ke Indonesia.
Nah, dalam kaitan ini ada
beberapa hal yang penting untuk diperhatikan dan dipertimbangkan. Pertama, pemanfaatan
SDM NU tidak harus dilakukan dengan merekrut mereka ke dalam struktur
kelembagaan NU. Di samping struktur kelembagaan NU terbatas, tidak semua orang
merasa nyaman berada dalam struktur. Hal yang penting dilakukan, di samping
pendataan yang tuntas, adalah bagaimana "menyapa" dan menjadikan
mereka sebagai bagian dari circleNU. Upaya demikian pernah
dilakukan KH. Masdar Farid Mas'udi dengan membuat forum "NU Circle"yang
mengundang anak NU yang bekerja profesional dalam berbagai bidang. Hal demikian
sebenarnya cukup bagus, sayangnya masih sekedar upaya personal dan belum
menjadi kerja NU secara kelembagaan.
Kedua,pengelolaan SDM NU tidak selalu harus diorientasikan untuk tujuan
politis untuk menguasai posisi-posisi birokrasi. Harus diakui, selama ini
orientasi pengelolaan SDM NU lebih terfokus ke wilayah ini, dengan mengirim
kader-kader NU ke partai politik atau untuk menduduki posisi tertentu dalam
birokrasi. Tentu saja ini tidak bisa dihindari, bahkan sangat penting, tapi
perlu dipikirkan bagaimana membuat mozaik NU yang warna-warni tertata.
Ketiga, pengelolaan SDM NU sama artinya dengan menjadikan NU sebagai rumah
bersama, tempat bernaung anggota keluarga itu. Semua yang menjadi anggota rumah
bersama itu merasa nyaman berada di dalamnya, memberi ketenangan pada tetangga
di kanan dan kirinya. NU sebagai rumah bersama memang harus ada yang
mengelola, tapi tugas pengelola adalah bagaimana supaya anggota keluarganya
bisa nyaman di rumah sendiri dan tidak merasa menjadi orang asing.
Bila NU berhasil mengelola
munculnya generasi baru yang terdidik ini, maka kebesaran NU tidak hanya
dilihat dari jumlah anggotanya yang banyak, tapi juga kemampuannya untuk
mempelopori perubahan. Kepeloporan inilah yang belakangan mulai redup di dalam
NU.[]
* Peneliti Senior the WAHID
Institute, Dosen Fak. Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Dimuat Suara Pembaruan Cetak,
Kamis 14 Juli 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar